JAKARTA – Masyarakat dengan yang memiliki gaji standar Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sepertinya harus menguburkan mimpinya unuk dapat kuliah di perguruan tinggi negeri. Sebab saat ini menjadi mahasiswa butuh biaya sangat mahal.
Kalangan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi pun terus menyuarakan aksi protes terhadap kenaikan uang Kuliah Tunggal atau UKT yang mencapai 100 persen lebih.
Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf Macan Efendi mengatakan, dewan saat ini telah membentuk Panita Kerja (Panja) untuk mengetahui kenapa biaya pendidikan tinggi jadi mahal.
‘’Tujuan dibetuk Panja yaitu ingin memastikan biaya pendidikan di Indonesia terjangkau masyarakat,’’ ujar Dede dalam keterangannya, minggu, (18/5)
Panja nantinya akan meminta penjelasan dari berbagai perguruan tinggi dan menanyakan langsung kenapa biaya kuliah setiap tahunnya naik.
Panja juga ingin mengetahui sejauh mana komponen biaya pendidikan tinggi digunakan. Sebab, sejauh ini belum banyak orang yang tau mengenai alokasi biaya pendidikan yang dikeloa oleh perguruan tinggi.
Menurutnya, peserta didik dan orang tua selama ini tidak mengetahui digunakan untuk apa uang biaya pedidikan itu.
‘’Jadi apakah uang itu digunakan untuk gaji dosen, perawatan gedung, fasilitas atau untuk riset, jadi kita belum tahu, dan hal in akan dibahas nanti,’’kata dia.
Selain itu, Komisi X DPR akan meminta keterangan juga dari Kemendikbud. Sekaligus melakukan investigasi terhadap masalah pembiayaan pendidikan,” ujar dia.
Sementara itu, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie turut mereson adanya gelombang kritik dari kalangan mahasiswa terkait UKT.
Menurutnya, mahasiswa harus memenuhi biaya kuliah untuk penyelenggaraan penddikan di Perguruan Tinggi bisa berlajalan lancar.
Menurutnya, Dana Bantuan Operasional Perguruan Tinggi (BPOPTN) belum bisa memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan. Sehingga belum bisa digratiskan.
Pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier sehingga tidak menjadi tanggung jawab pemerintah. Sedangkan penyelenggaraan pendidikan wajib belajar mulai dari SD, SMP hingga SMA menjadi tanggung jawab pemerintah.
“Jadi bagi perguruang tinggi itu sifatnya adalah pilihan bukan menjadi kewajiban dan masih menjadi pendidikan tersier,’’ tutup Tjitjik. (zos)